Sabtu, 13 Juni 2009

Pengantin Kampung



Gara – gara smsan sama Heri saat menghadiri pesta perkawinan seorang teman, jadi teringat perkawinanku sendiri. Di Randubatung, tengah hutan jati gung liwang liwung, di sebuah kampung…ternyata teman - temanku menepati janji…tetap datang meski dengan pejuangan tersendiri. Padahal aku gak berharap banget, mengingat jarak tempuh yang lumayan jauh, (bahkan kalo gak aku sendiri yang kawin, mungkin aku gak datang juga…he…he..he). Dari Surabaya berganti – ganti kendaraan umum, sampai akhirnya harus ngojek dari kota kecamatan..ke my kampuang.

Malamnya pas ‘gawenya’ tambah rame lagi, penghulu yang ditunggu – tunggu ga datang. Padahal, acara demi acara udah selesai semua. Teman – teman kecewa, keinginan untuk menyaksikan ijab kabulku batal sudah. Untuk menghibur mereka, akhirnya aku gabung aja tidur sama – sama di mushola (lha wong belum sah kok...kan dosa!)

Benar – benar tak terlupakan

Selasa, 30 Desember 2008

Maskuri Brothers Translation Team In Action


Yang lagi nampang setengah telanjang ini adalah Big Bos Maskuri Brothers, aku dan yang tidak setengah telanjang adalah staf MB bukan MIB lho…(2 staf personil inti Maskuri Brother Translation, yg selalu kerja malam dan tidur pagi subuh sampe siang, aku n Heri) dan tamu tetap, si Edi arek Administrasi
(kalo gak salah), the best friend of Ilham yang pernah marah waktu tak tatarik iuran urunan beli tv di kos2an Bu Pur, padahal tiap hari nonton dan tidur di kos2an Gubeng Jaya II/25 (betulkah alamatnya ini?) Sori Edi aku gak ngundhat undhat lho, Cuma ngingatkan aja..

Her..aku yakin kamu gak nyimpan foto ini, bahkan Maskuri…(our ex Bos), juga gak punya. So kalo mau download silahkan, tapi tolong ya…kalo ada foto2 lain yang aku ga punya, kirimkan aja ke emailku.

Eh konco..kemaren Tatok (masih ingat?) ngebel aku, kangen – kangenanlah. Tapi waktu ta tanyain tentang you semua, dia bilang gak ada yang kontak sama sekali. Eh, kapan2 reuni yuk!? Kita dolan sama2 di rumah Bu Pur, kita sungkem ke Ibu Kos kita yang baik hati telah menyisakan kamar untuk kita tempati…he..he…meski bayar.

Semoga blog ini tidak berubah jadi Friendster..Habis, isinya jadi foto – foto ae sih. Mau gimana lagi, tukang ketikku (he..he..sory Edi,…ini Edi lain lho bukan Edi yang di foto itu) yang kebetulan temen kuliah, juga lagi sibuk melototin buku krn UTS, terpaksa garapan dari aku jadi terbengkelai. Ya gak papa… tadi barusan aku ambil 2 Cerpen dari mes Edi, tinggal edit trus besok2nya posting…

Rabu, 05 November 2008

Mahasiswa Forever


Pukul 17.45. Hpku bergetar, dan waktu kuangkat dan kulihat nomor yang muncul berkode Jakarta, cuma tidak nama nama. Siapa ya, begitu aku ucapkan salam…langsung deh aku kenali suara khas, loghat Medunten (maaf orang kampungku kalo menyebut Madura dengan bahasa halus jadi, Medunten).

Dalam keramaian tawa dan teriakan temen – teman kuliahku aku nekad ngobrol sama sobat lama yang jauh tapi terasa dekat .. Dedi. Sayang suaranya, meskipun masih mantap dan berisi tetap kalah dengan suara teman – temanku yang lebih mantap dan lebih berisi.

Semoga Dedi memakluminya… Ya..apa boleh buat, kalo teman teman semua sudah kelar dengan S1 nya bertahun – tahun silam, aku justru baru saja mulai di semester tiga. Tapi tetep ada hikmahnya kok, BEBERAPA TAHUN SEMESTER LAGI, AKU AKAN BISA KKN LAGI KAWAN!!! He..he..he..,eh kalo ada yang punya koleksi foto – foto lama di Sukorejo, tolong dibagi ya?! Thankstrimssuwun!

Ikbal..trims komene…betul hidup adalah perbuatan, sedikit narsis ya ben, yang penting tidak terlalu lalu…kan semua ada hikmahnya. Ya, paling aku bisa ngaca n instrospeksi dan last, aku jadi ada semangat baru.

Cok, sumbang tulisan ato cerpenmu ya di sini…jangan hanya komentar, biar semakin rame!

Sayang, sampe sekarang aku gak tau rimba kordes kita si Kom Kom... Ada yang punya info ta, yang lebih misterius lagi...Kyai Demak Mafudhon dan Teguhpun lenyap seperti ditelan bumi.

Minggu, 02 November 2008

FOTO - FOTO MASA LALU 2


Dipantai ini ..(aku bener2 lupa namanya…kita pernah habiskan waktu setengah hari bersama – sama, mencoba melepas penat, hilangkan kalut dan jenuh karena jauh dari rumah, kampong halaman dan pacar or bojo…he..he…he… Masih pada ingatkah?

FOTO - FOTO MASA LALU


KKN Unair XVI, Sukorejo Udan Awu, Blitar...Moh. Iqbal, Indah Dwi E, Alis Muntono, Dyah Rudiyanti, F. Teguh. S, Ralita Wulandari, M.Nur Qomari, Golda Lidya. A, Mafudhon, Sihar Ramses S. Rahmad (Ucok)ML. Deddy Prihartono, Asmara Dewi, Jemmy Tria, Atik Ismarya, Dwinanto HB. ayo kontak lagi yuu, gak pingin main ke Sukorejo ta biar kena Udan Awu atau ke rumah pak Subari?...

Senin, 27 Oktober 2008


Sekali dalam hidupku injakkan kaki di Bali...Ya, sampe sekarang belum keturutan lagi. Tolong yang punya kenangan sam denganku, kita berbagi yukk...SMA Negeri I Cepu Th 90/91 Roni Kristiawan, Nunuk Apriyani, cewek satunya lupa..Suwandi, Eko Heri Priyantono, aNgatman, Dudung Wiratmoko, Aku..dan Ali Sodikin

Kamis, 23 Oktober 2008

Orang - Orang Durhaka


Oleh : Alis Muntono
Cerpen ini adalah Cerpen kedua yang kutulis dalam Bahasa Indonesia. Terpaksa saya publikasikan lebih dulu karena dokumen cerpen yang pertama masih belum ketemu. Di muat di Majalah Liberty 1846, 1 – 10 Agustus 1994


Tidak! Aku tidak akan pernah membiarkan orang menghina Wartini istriku. Kalau masih bisa diingatkan aku akan mencoba memperingatkan mereka dengan menjelaskan bahwa yang dilakukan istriku bukanlah perbuatan kotor seperti yang mereka sangka. Tapi jika masih memandang rendah pada profesi Wartini aku tak segan-segan menampar mulutnya, menendang perutnya ataupun memukul dagunya; aku tak kan menyesal telah melakukan walau dia temanku sekalipun. Bukankah kemarin aku telah membikin babak bundas Paimin di terminal? Karena dia telah telah menyebut profesi istriku untuk yang ketiga kalinya didepan orang banyak, sedang aku telah memperingatkannya dua kali. Mungkin dia pikir aku tidak akan tega melakukan itu semua hanya karena dia sering memberiku rokok. Untung ada yang melerai perkelahian kami, kalau tidak mungkin kepala Paimin sudah kubuat berantakan dengan kunci inggris.
Wartini! Nama itu selalu memberiku gairah. Aku tidak akan pernah bosan menyebutnya setiap kali aku mulai mengayuh becak. Wartini adalah perempuan yang paling aku cintai dari sekian perempuan yang pernah terlahir di dunia ini setelah ibuku. Namun sayang sekali aku tidak dapat membahagiakannya. Dan setiap kali aku menyadari, segeralah datang bertubi-tubi penyesalan menyesakkan dadaku. Dada Supardi, seorang pengayuh becak yang selalu bernasib malang. Dan buntutnya, aku akan mengutuk diri sendiri karena telah menelantarkannya.
Seandainya waktu bisa diulang, tentu aku tidak akan melakukan apa yang telah aku lakukan sepuluh tahun yang lalu. Sebuah kesalahan besar telah aku buat dalam sejarah hidupku.
Pagi hari kira-kira pukul sembilan, Wartini mampir ke gubukku dalam perjalanan pulang dari mengantar sarapan untuk bapaknya yang juga sedang mencangkul diladang. Aku dibuat bingung karna tanpa kutahu sebab-musababnya tiba-tiba dia terisak. Tanpa mencabut cangkul yang masih tertancap ditanah, aku segera menyusulnya. Tapi begitu berada didekatnya aku tak dapat melakukan apa-apa. Bahkan sepatah katapun untuk menenangkannnya pun tak keluar dari kerongkonganku. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus dan akan kulakukan, sehingga akhirnya dia berbicara juga walaupun masih terisak menangis.
“Kita takkan bisa bersama lagi kang.”
“Apa?”Aku semakin bingung.
“Kemarin Lik Suro melamarku. Maksudku melamarkan anaknya, Parman.”
”Ayahmu menerimanya?” tanyaku memastikan. Ya, tanpa dijawab pun aku telah tahu. Wartini Cuma menganggukkan kepalanya seolah dia tahu aku tak butuh jawabannya.
“Tidak War, itu tidak boleh terjadi. Aku takkan membiarkan kamu jatuh ketangan orang lain walaupun ayahmu memperbolehkan,” kataku lirih tapi kurasakan sendiri kemantapannya.
“Kang pardi mau melamarku juga?”
“Tidak itu bodoh namanya. Bukankah Ayahmu telah menerima Parman? Kita minggat saja dari kampung ini.”
“Apa?” Tanya Warti setengah menjerit.
”Cuma itu yang bisa kita lakukan, jika kita masih ingin bersama. Kita minggat dan memulai hidup dikota dengan bekerja apa saja, setelah beberapa tahun kemudian kita sowan keorang tuamu. Kita sungkem kepada mereka dan mempersembahkan seorang cucu yang lucu dan menggemaskan. Aku yakin mereka akan memaafkan kesalahan yang telah kita perbuat.”
Wartini terdiam sesaat mungkin sedang mencari kebenaran dari ucapanku.
“Aku tidak memaksamu War. Kau punya hak untuk menolak ajakanku jika memang itu terbaik untukmu.”
Wartini masih tetap diam. Tapi kini dia menatap tajam ke arahku. Aku merasa tatapan matanya menembus relung hatiku dan menanyakan kesungguhanku. Sesaat kemudian dia menganggukkan kepalanya dan berucap,”Baik kang aku ikut kamu.”
Tak terkira kegembiraanku saat mendengar keputusan yang kuanggap paling baik itu. Sedikit pun aku tidak m,engira bahwa keputusan Wartini itu sangat kusesali di kemudian hari.
Berbekalkan uang hasil penjualan seekor sapi satu-satunya harta yang kumiliki, hasil keringatku buruh angon selama dua tahun sama Dhe Marto, kami berangkat meninggalkan desa kelahiran, Aku sedih juga walaupun sudah tak ada siapa-siapa lagi yang memberatkan hati untuk pergi selain makam kedua orang tuaku. Aku sudah tak punya siapa-siapa dan apa-apa lagi sejak aku berusia sepuluh tahun. Sejak ayahku menyusul ibu yang meninggal karena melahirkan aku. Mereka tidak meninggalkan apa-apa selain nama Supardi yang hingga kini masih kupakai. Ayah telah menghabiskan semuanya di meja judi dan di kamar-kamar perempuan binal.
Tahun-tahun permulaan telah dapat kurasakan suasana kota yang tidak bersahabat. Pekerjaan yang benar-benar kami harapkan tak kunjung kudapat, sementara perut-perut kami minta untuk diisi setiap hari. Berangsur-angsur uang bekal kami dari kampung. Menipis. Penghasilan dari hasil menjadi kuli batu tidak banyak membantu. Kami terus saja merasa kekurangan walau telah membanting tulang mulai dari pagi hingga petang bahkan kadang-kadang sampai malam. Keadaan kami tetap tidak berubah sampai akhirnya seseorang menawariku sebuah becak untuk kusewa sekaligus kubeli.
Cobaan demi cobaan datang menimpa silih berganti. Tak terasa usia perkawinan kami yang tak direstui telah mencapai dua tahun. Kami mulai digelisahkan oleh tidak adanya tanda-tanda akan lahir seorang bayi dari rahim Wartini. Padahal sebenarnya kami harus bersyukur karena seandainya ada bocah di tengah-tengah kami akan semakin membuat bertambah tinggi uang yang kami butuhkan. Tapi karena tuntutan batin dan keinginan untuk hidup seperti layaknya sebuah keluarga, kami tak bisa pungkiri keinginan untuk menggendong seorang bocah. Dan bukankah itu juga merupakan salah satu kenginan yang pernah aku lontarkan kepada Wartini dulu?
Penderitaan belun berakhir. Pada suatu malam, saat aku pulang karena telah larut malam ; sebuah hiace putih menabrakku, menghancurkan becak yang belum lunas. Dan yang paling menyakitkan lagi mobil keparat itu tidak peduli dengan nasibku. Dia langsung kabur begitu selesai membuatku bersimbah darah terkapar tak sadarkan diri. Aku tak dapat berbuat apa-apa selain terkapar. Ya, aku benar-benar terkapar selama hampir enam bulan penuh. Dan selama itu pula tubuhku tak tersentuh oleh tangan seorang dokter.
Enam bulan bukanlah waktu yang singkat untuk sekedar berbaring makan dan tidur. Dalam keadaan seperti itu tak sedikit pun terlintas dalam benakku betapa sulit dan sakitnya Wartini merawat dan menghidupiku. Sedang seorang lelaki seperti akupun merasa berat melakukannya. Aku baru sadar setalah mendengar pengakuan Wartini atas kebohongan yang selama ini telah aku percayai sepenuhnya. Wartini telah melacur. Begitu mendengar pengakuannya sebuah tamparan keras kulayangkan ke pipinya. Setelah itu aku terdiam, bingung. Aku tak tahu apa yang sedang berkecamuk di benakku saat itu. Aku baru sadar akan kesalahanku setelah tak kusaksikan butiran bening keluar dari kedua bola matanya. Sedang aku tahu betul betapa halus dan betapa tak dapat disakiti hatinya. Wartini akhirnya terisak pula setelah aku memeluk, menangis dan memohon maaf padanya.
Sejak itu aku selalu berusaha untuk tidak membuatnya sedih. Aku turuti keinginannya sejauh aku bisa memenuhinya. Bahkan aku mengabulkan permintaan untuk mendapatkan seorang bocah dari benih laki-laki lain. Tak ada pilihan karena ternyata aku benar-benar tak mampu. Supardi tak lagi segesit dan sekuat dulu lagi. Supardi tak dapat lagi membecak sepanjang siang, Supardi telah pincang.
**
“Becaknya nganggur?” Tanya seorang lelaki tua mengejutkanku yang sedang terkantuk-kantuk menunggu datangnya rezeki. Aku tertegun sesaat. Ah…tidak aku tidak akan pernah lupa wajah tua yang ada dihadapanku ini. Walau warna putih rambut dan keriput wajahnya membawa banyak perubahan.
“Bisa mengantar saya Cak?” ulangnya melihat aku hanya termangu.
“ O..eh, iya. Bisa Pak, kemana?”
“ Apotik Mahkota berapa?”
“Limaratus,” jawabku pendek.
“Siapa yang sakit pak?” tanyaku setelah beberapa meter meninggalkan tempat semula .
“ Istri saya Cak. Sudah tiga minggu ngamar disini.”
“Bapak bukan orang daerah sinikan?” aku bertanya memancing sekaligus memastikan.
“Saya dari Blora, Jawa Tengah. Disana peralatan belum memadai. Jadi ya… dibawa kesini.”
Aku semakin yakin jati diri lelaki tua ini, tetapi semaki tak tahu apa yang harus aku lakukan. Kesempatan ini telah lama sekali kutunggu. Tapi sayang tak ada keberanian dihatiku. Dan memang ini juga yang menjadi penyebab kandasnya keinginanku dan Wartini.
“Di dekat sini ada WC umum nggak Cak?”
Akhirnya terbuka juga jalan keluar. Aku tidak akan sia-siakan kesempatan ini.”Ada pak, tapi harus mutar kembali,” aku diam sejenak untuk menenangkan debur jantungku yang tak menentu,
“Kalau bapak tidak keberatan, bagaimana kalau mampir kerumah saya saja.”
Cepat kuseberangkan becakku ke sebelah kanan dan kemudian masuk ke gang dua setelah laki-laki tua itu menerima tawaranku. Semakin dekat dengan rumahku aku semakin gugup. Ah, biarlah terjadi apa yang semestinya terjadi.
“Mari Pak, silakan masuk.”
Laki-laki itu tidak menjawab ajakanku, dia malah menatap tajam ke arahku. Sudah tahukah siapa sebenarnya aku?
“Mari pak!” aku mengulangi ajakanku yang kedua kalinya. Sambil melangkahkan kaki mendahuluinya. Sejenak kulihat keterkejutan di wajahnya sebelum menjawab, ya.
Begitu memasuki rumah aku melepas capil dan kacamata yang mungkin telah membuatnya lupa siapa aku.
“Masih ingat saya Pak?” dengan suara serak dan gemetar aku bertanya.
Laki-laki itu kembali memandang tajam seperti tadi dan tiba-tiba rona wajahnya berubah, merah seolah seperti akan membakar kedua matanya yang menatapnya dengan tatapan sayu.
“Supardi?!... Bajingan kau!”
Begitu dia selesaikan kalimatnya secepat itu pula aku jatuhkan tubuhku kelantai dan mencium kakinya.
“Mana anakku keparat?!” dengan suara menggelegar dia membentakku.
“Kang Pardi ya didepan?” Wartini bertanya dari belakang. Dia pasti mendengar keributan yang terjadi.
“Ada apa Kang?”
Aku yakin Wartini terkejut melihatku bersimpuh dibawah kaki seseorang yang mungkin telah dia lupakan.
“Kau Wartini?!... Bukankah kau yang semalam…”